Kota Sabang merupakan sebuah tempat destinasi yang popular bagi wisatawan domestik dan mancanegara. Kota ini merupakan kepulauan di seberang utara pulau Sumatera, dengan Pulau Weh sebagai pulau terluar. Dari segi geografis Indonesia, wilayah Kota Sabang berada pada 95°13’02”-95°22’36” BT, dan 05°46’28”-05°54′-28″ LU, merupakan wilayah administratif paling utara, dan berbatasan langsung dengan negara tetangga yaitu Malaysia, Thailand, dan India.
Di tengah lilir mudik wisatawan, pernahkah kita memperhatikan sebuah tugu yang berada di Pelabuhan Balohan (Selatan Pulau Weh), sebuah tugu yang kusam dan tak terawat lagi tersebut dibangun pada tahun 1997 atas sumbangan Wang Sungtee seorang warganegara Taiwan untuk mengenang tenggelamnya Kapal KMP Gurita.
Tugu tersebut berdiri terabaikan dan tak tertenggok lagi, ibarat sebuah kenangan yang telah usang dan ditinggalkan diantara sibuknya pelabuhan yang menghubungkan Kota Sabang dengan Kota Banda Aceh. Dapatkah kita mengenang kejadian tersebut, sebuah musibah terbesar di Aceh sebelum terjadi Tsunami (2004), yaitu tenggelammnya KMP Gurita.
Musibah tenggelamnya KMP Gurita terjadi pada tahun 1996 di Teluk Balohan, Sabang. Kapal Motor Penumpang (KMP) Gurita yang mengangkut 378 penumpang, tenggelam ke dasar laut. Dari jumlah penumpang itu, 40 orang dapat diselamatkan, 54 ditemukan tewas dan 284 orang di nyatakan hilang bersama-sama dengan KMP Gurita yang tidak berhasil di angkat dari dasar laut.
KMP Gurita merupakan alat transportasi utama yang menghubungkan pelabuhan Malahayati, Banda Aceh dan pulau Sabang. Penyebab kapal feri itu tenggelam karena kelebihan muatan. Kapasitas angkutnya hanya untuk sekitar 210 orang. Namun yang diangkut sebanyak 378 orang.
KMP itu semakin sarat muatan, karena barang yang diangkut juga melebihi kapasitas. Di perkirakan mencapai 50 ton, diantaranya 10 ton semen, 8 ton bahan bakar, 15 ton tiang beton listrik, bahan sandang-pangan kebutuhan masyarakat Sabang serta 12 kendaraan roda empat dan 16 roda dua.
Sebenarnya, sejak beberapa tahun sebelum 1996 masyarakat di Aceh, khususnya di pulau Sabang, sudah memperkirakan bakal terjadi musibah atas KMP Gurita. Perkiraan itu setelah melihat kondisi feri penyeberangan tersebut yang sering batuk-batuk dan tak laik laut lagi. Namun, karena terbatasnya armada angkutan, Ditjen Perhubungan Darat dalam hal ini PT ASDP (Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan) terus mengoperasikan secara reguler kapal tua yang dibuat tahun 1970 di galangan kapal Bina Simpaku, Tokyo, Jepang tersebut.
Gurita memang termasuk KMP yang tergolong uzur. Feri tipe Ro-Ro berukuran 32,45 meter, lebar 7,82 meter, dalam 2,30 meter dengan berat 196,08 ton itu, selama mengisi jalur pelayaran Malahayati-Sabang dikabarkan sering mengalami kerusakan. Kisahnya, dua hari sebelum terjadi musibah, yakni pada hari rabu (17/1/96) pukul 14:00 WIB, Gurita mengalami kerusakan, sehingga tak dapat mengangkut penumpang dari Sabang ke Pelabuhan Malahayati. Kapal kemudian diperbaiki di pelabuhan Basis Lanal TNI-Al Sabang. Perbaikan di bagian rampdoor itu memakan waktu tiga hari.
Sampai hari kamis (18/1/96), kerusakan pada kapal tersebut belum juga rampung diperbaiki. Karena banyak penumpang yang akan bepergian ke Banda Aceh, maka keesokan harinya (jumat,19/1/96) KMP Gurita dioperasikan. Pengoperasian KMP Gurita memang sangat mendesak karena masyarakat di Aceh yang mayoritas umat Islam akan memasuki bulan puasa Ramadhan. Saatnya bagi masyarakat di Aceh untuk berkumpul dengan sanak keluarga, karena akan meugang menjelang bulan Ramadhan. Meugang dilakukan Sabtu dan Minggu, karena pemerintah telah menetapkan 1 Ramadhan jatuh pada hari Senin (22/1/96). Sudah barang tentu, KMP Gurita hari itu penuh dengan penumpang.
Ini dapat dimaklumi, selain feri tersebut satu-satunya alat angkutan yang menghubungan sabang-Malahayati pulang-pergi (PP), juga pada hari itu merupakan waktu yang tepat pulang ke Sabang, berkumpul dengan keluarga menghadapi bulan Ramadhan. Ternyata, ketika meninggalkan pelabuhan Malahayati, Gurita melebihi kapasitas. Saksi mata melihat bagaimana KMP Gurita tersebut sarat dengan penumpang. Belum termasuk barang-barang yang diperkirakan merupakan beban terberat dari KMP Gurita. Dalam kondisi seperti itu, KMP Gurita tetap diberangkatkan dan meninggalkan pelabuhan Malahayati pada pukul 18:45 WIB, Jumat (19/1/1996) malam.
Walikota Sabang saat itu, Kol. (inf) Bustari Mansyur mengatakan, Pemda Kota Madya Sabang dan Pemda tingkat I Aceh sejak beberapa tahun lalu sudah mengusulkan kepada Menteri Perhubungan agar KMP Gurita segera diganti dengan yang lebih baru. “Pak Gubernur Syamsuddin Mahmud (Gubernur Aceh saat itu) telah membuat surat kepada Menhub, memohon agar feri itu diganti, karena dikhawatirkan akan mengalami kecelakaan,” ujarnya. Walikota Sabang sebelumnya, Kol (Inf) Sulaiman Ibrahim, juga sudah mengajukan permohonan pergantian KMP Gurita itu.
Pada dasarnya alasannya sama, karena kondisi KMP Gurita sudah tak laik laut. Pergantian itu sangat mendesak dilakukan, karena perairan Aceh terkenal ganas dengan gelombang ombak yang tinggi. Setelah Bustari Mansyur menjadi Walikota Sabang, surat yang sama juga pernah disampaikannya kepada Menhub, yang isinya meminta perhatian agar KMP Gurita segera digantikan dengan feri yang baru. surat Walikota itu dikirimkan pada tanggal 24 november 1995, dengan tembusan ke berbagai pihak. Sebelum menerima jawaban dari menteri, walikota kemudian mengirim surat senada kepada Direktur utama PT ASDP di jakarta tanggal 18 Desember 1995.
Dua surat yang dilayangkan ke pihak penentu di Jakarta itu sampai saat musibah terjadi, belum mendapat jawaban. Akhirnya, Gubernur Aceh pun membuat dengan isi yang sama. Namun belum sempat surat gubernur itu dikirim ke Dephub di Jakarta, KMP Gurita sudah keburu tenggelam. Bahkan tragisnya, dua hari menjelang kecelakaan, Walikota Bustari Masyur berangkat ke Jakarta. Keberangkatan pak Walikota khusus mempertanyakan tindak lanjut dua surat yang dikirim sebelumnya, baik kepada PT ASDP maupun kejajaran Dephub. “Tak ada jawaban yang pasti”. Semuanya mengambang,” katanya menirukan jawaban yang diterima pak Walikota. Apa yang dikeluhkan masyarakat dan pemda tentang kondisi kapal penyeberangan itu,menurut HT Darwin, perlu segera menjadi perhatian pimpinan tertinggi di Dephub.
“Menteri Perhubungan diharapkan segera mengirimkan kapal penyeberangan yang lebih baik ke Sabang. Ini penting,karena feri merupakan angkutan yang sangat vital bagi daerah itu,” ujar HT Darwin, ketua FKP DPRD Tingkat I Aceh.
Masyarakat aceh khususnya di sabang menanti dengan penuh harap, kapan permohonan mereka menjadi kenyataan.perjuangan dengan menggunakan berbagai jalur telah dilakukan. Namun belum berhasil. Kapal telah tenggelam dua hari setelah pak wali kota bertemu dengan pejabat penting di jajaran Dephub membicarakan kondisi kapal yang sudah tua renta itu.
Musibah yang cukup mengejutkan itu terjadi sekitar 5 – 6 mil mendekati pelabuhan, yakni ketika hendak memasuki teluk Balohan. Di kegelapan malam yang mencekam itu, KMP Gurita mengalami gangguan cuaca dan angin kencang dari arah timur. Terjadinya gangguan, ditambah muatan yang melebihi kapasitas, mengakibatkan kapal tersebut menjadi oleng. Nahkoda tak dapat menguasai kapal yang oleng ke kiri dan ke kanan.
Saksi mata mengatakan pada pukul 20:15 WIB, kapal penyeberangan itu masih terlihat dari pelabuhan Balohan. Sanak keluarga yang datang menjemput tak memperkirakan kapal tersebut sedang mengalami gangguan dan tengah berjuang melawan badai. Lampu masih terlihat jelas dari KMP Gurita. Namun sekitar pukul 20:30 WIB, kapal penyeberangan itu sudah tidak terlihat lagi. Sampai saat itu, belum ada satu pun pejabat di pelabuhan Sabang yang menyatakan kapal mengalami musibah.
Pencarian terus dilakukan. hubungan dengan kapal terputus. Tak ada tanda-tanda apa pun yang bisa diterima dari kapal feri itu. Kepastian musibah baru diketahui empat jam setelah kejadian, yakni pada saat salah seorang penduduk Balohan, Syahril penumpang KMP Gurita mampu berenang mengarungi lautan dengan ombak yang ganas dan terdampar di Teluk Keunake.
Kabar yang di bawa syahril itulah yang memastikan bahwa KMP Gurita tenggelam di dekat teluk Balohan. sejak saat itu, masyarakat di Pelabuhan Sabang, menjadi gelisah. Sebagian masih tetap tabah menanti kedatangan keluarganya, tetapi sebagian lagi mulai mencari daftar penumpang.
Saksi mata yang tak jadi berangkat dengan KMP Gurita karena melihat kondisi kapal yang sarat penumpang mengakui, pada saat meninggalkan Pelabuhan Malahayati, kapal yang naas tersebut sarat penumpang dan barang.
“Saya takut melihat kapal tersebut, jadi saya turun dan membatalkan untuk berangkat,” ujar Daud Breok, penduduk Sabang yang membatalkan niatnya menumpang KMP Gurita pada malam itu. sebagai seorang pedagang yang terbiasa menumpang KMP Gurita, Daud mengkakui, pada malam keberangkatan dari pelabuhan Malahayati, rasa takutnya tak ketolongan. Ia gelisah. Ada bisikan hati yang melarang Daud berangkat malam itu. “Bisikan itu yang membuat saya selamat,” katanya.
Kisah lainya juga bernada sama, di ungkapkan oleh Buchari, pemuda yang dikenal sebagai guru komputer di Sabang. Dia menceritakan, pada malam itu ia tak jadi pulang ke Sabang, karena ada “sesuatu” yang melarang. Padahal, nama Buchari sudah tercantum sebagai penumpang nomor satu pada manifest. “Saya selamat, karena mengurungkan niat pulang malam itu,” ujar Buchari.
Seorang pengawai Pemerintah Kota Madya Sabang juga mengakui, kapal yang merupakan angkutan vital di perairan itu pada saat berangkat melebihi kapasitas. “kalau ada yang menyebut penumpangnya hanya 210 orang, itu tidak benar,” katanya.
Banyak penyimpangan terungkap, setelah KMP Gurita tenggelam. Di antaranya yang paling fatal adalah menyangkut daftar penumpang. Dalam manifest disebut hanya 210 orang. Tapi nyatanya, banyak penumpang yang tidak terdaftar. Diantaranya Kapolres Sabang, Letkol Rachmad beserta istrinya. “Banyaknya nama penumpang yang tidak terdaftar merupakan kealpaan dari oknum PT ASDP yang harus dipertanggungjawabkan,” ujar HT Darwin, ketua Fraksi Karya Pembangunan DPRD Tingkat I Aceh, seraya menambahkan, pihaknya mendesak agar oknum petugas di Syahbandar Malahayati dan petugas PT ASDP di pelabuhan itu diusut.
Mungkin musibah yang menimpa KMP Gurita tak terlepas dari kealpaan sejumlah pejabat perhubungan di Aceh maupun Pusat. Tapi bukankah hidup bukanlah proses untuk mencari siapa yang salah semata, melainkan untuk menghadapi kesalahan, dan mengatasinya. Setelah kita belajar dari pengalaman tenggelamnya KMP Gurita, maka kita semua berharap semoga saja duka yang mendalam seperti ini tidak akan pernah terulang kembali.
Penulis: Tengku Puteh
Tinggalkan Komentar